Itu
yang Belum Bisa Aku Miliki
Itu yang belum bisa aku
miliki. Judul yang aku tulis di lembar baru microsoft
word milikku. Malam itu, aku duduk di sudut kamar tidur yang ukurannya
kurang lebih 3 x 4 meter. Ukuran yang dapat dikatakan kecil. Ketika itu di
dalam naluriku tersimpan banyak cerita yang ingin aku tuliskan. Kata demi kata
kutulis hingga menjadi kalimat. Satu kalimat, dua kalimat dan menjadi sebuah
paragraf. Paragraf menjadi alenia. Dan jadilah sebuah karangan mungil. Jam
berdenting menunjukkan pukul 24.00. Segera ku simpan tulisanku dan bergegas
tidur. Berharap esok pagi dapat bangun yang bercerita dengan sang khaliq.
Aku terbangun, seperti
biasa aku dapat bangun tanpa alarm. Pukul tiga. “ah, males bangun, tidur lagi
saja” gumamku dalam hati. Lalu, sejenak aku berfikir lagi”Nanti nyesel kalau
tidak segera mangambil air wudlu”. Aku ambil air wudlu dan segera sembahyang.
Ya, seperti itu rutinitasku setiap menjelang fajar. Sederhana.
“Assalamualaikum,”
seseorang menyapa ketika aku baru saja turun dari sepeda motor di parkiran
kampus. “Walaikumsalam.” jawabku. Aku kira orang asing yang menyapaku ternyata Mirna,
sahabatku sendiri yang suaranya dibuat-buat. “ Bagaimana kabarmu, Ta?” tanyanya
padaku. Aku biasa di panggil Tata oleh teman-temanku. Aku menjawab bahwa aku
baik-baik saja dan kami mengobrol sambil menuju ke kelas untuk mengikuti
perkuliahan.
Jam pertama 07.00 kami
sudah disuguhi amarah oleh dosen yang mahasiswa menyebut sebagai dosen killer.
Memang dosen yang satu ini dapat dikatakan galak. Aku memilih untuk diam ketika
mereka mulai menggosipkan dosen tersebut. Karena aku merasa membicarakan dosen
dibelakang bukan hal yang baik. Aku meningalkan gerombolan pemuda pemudi masa
kini yang sedang asik bercengkrama.
Di teras gedung
perkuliahan, dia tersenyum kepadaku. Senyumnya tidak asing. Aku mencoba
mngingat-ingat siapa lelaki itu. Satu menit, dua menit, hingga 5 menit aku
belum ingat siapa dia. Lalu, terbesit di benakku untuk menghampirinya.
Kuberanikan diriku. “Maaf, apakah kita pernah saling kenal? Karena aku merasa tidak
asing dengan anda” aku bertanya dengan polosnya. Lelaki itu menjawab “Ta, kamu
lupa? Benar-benar tidak ingat siapa aku?” dia mengetesku. Aku masih
memandanginya. Siapa dia, tanyaku dalam hati. “ah sudahlah Ta, diammu terlalu
lama.hahaha” ejeknya. “Aku Imran, teman SMPmu”. Mukaku memerah ternyata dia
Imran teman sekelasku dulu. Lelaki yang pernah aku kagumi. Dan dia sekarang hadir
disini, tepat di depanku, hanya ada jeda 3 langkah saja. Setelah pertemuan yang
tak disengaja itu, aku dan dia saling bercakap-cakap, saling berbagi
pengalaman.Waktu menunjukkan pukul 12.00, aku berpamitan dengannya karena ada
urusan yang sudah menanti penyelesaian.
“Tata!” sapa Mirna dari
kejauhan. “Oh hai Mir!” aku membalas sapanya. Lalu wanita manis itu
menghampiriku. Kamipun segera berbicara banyak hal mengenai sesuatu hal. Hal
yang dapat dikatakan sebagai masalah. Ya, masalahnya tidak begitu runyam sebenarnya.
Hanya saja masalah ini membutuhkan banyak sudut pandang. Karena ini bukan
masalah biasa. Mungkin teman-temanku selalu bertanya-tanya sebenarnya kami ada
masalah apa. “Kenapa mereka tidak cerita ya?” batin mereka. Aku hanya mesem ketika mereka berfikir seperti
itu.
Di rumah, aku lebih
banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang mungkin dianggap orang lain hal
yang kurang penting. Sahabatku Mirna mendukung kegemaranku. Ya, aku suka
menulis. Apapun yang ada di benakku, aku menuliskannya. Entah perasaan senang,
sedih, kecewa, bahkan terluka sekalipun. Aku merasa bahwa tulisan adalah tempat
curhat keduaku, karena kita tidak bisa memungkiri bahwa Allah adalah tempat
curhatan pertama dan akan tetap jadi yang pertama. Masih kembali ke masalah
tadi. Lalu bagaimana dengan Imran, perkuliahan tadi?. Sebenarnya, serangkaian
kejadian hari ini tidak ada hubungannya dengan tulisan sederhana ini. Karena
aku hanya ingin menulis dan menulis. Tetapi memang ada sesuatu hal yang kadang,
oh bahkan sering membuat hatiku ragu. Aku terjebak oleh seuntai perasaan yang
masih tercecer. Perasaan yang tidak aku pahami. Perasaannya, itu yang belum
bisa aku miliki.