Jumat, 27 Maret 2015


Itu yang Belum Bisa Aku Miliki

Itu yang belum bisa aku miliki. Judul yang aku tulis di lembar baru microsoft word milikku. Malam itu, aku duduk di sudut kamar tidur yang ukurannya kurang lebih 3 x 4 meter. Ukuran yang dapat dikatakan kecil. Ketika itu di dalam naluriku tersimpan banyak cerita yang ingin aku tuliskan. Kata demi kata kutulis hingga menjadi kalimat. Satu kalimat, dua kalimat dan menjadi sebuah paragraf. Paragraf menjadi alenia. Dan jadilah sebuah karangan mungil. Jam berdenting menunjukkan pukul 24.00. Segera ku simpan tulisanku dan bergegas tidur. Berharap esok pagi dapat bangun yang bercerita dengan sang khaliq.

Aku terbangun, seperti biasa aku dapat bangun tanpa alarm. Pukul tiga. “ah, males bangun, tidur lagi saja” gumamku dalam hati. Lalu, sejenak aku berfikir lagi”Nanti nyesel kalau tidak segera mangambil air wudlu”. Aku ambil air wudlu dan segera sembahyang. Ya, seperti itu rutinitasku setiap menjelang fajar. Sederhana.

“Assalamualaikum,” seseorang menyapa ketika aku baru saja turun dari sepeda motor di parkiran kampus. “Walaikumsalam.” jawabku. Aku kira orang asing yang menyapaku ternyata Mirna, sahabatku sendiri yang suaranya dibuat-buat. “ Bagaimana kabarmu, Ta?” tanyanya padaku. Aku biasa di panggil Tata oleh teman-temanku. Aku menjawab bahwa aku baik-baik saja dan kami mengobrol sambil menuju ke kelas untuk mengikuti perkuliahan.

Jam pertama 07.00 kami sudah disuguhi amarah oleh dosen yang mahasiswa menyebut sebagai dosen killer. Memang dosen yang satu ini dapat dikatakan galak. Aku memilih untuk diam ketika mereka mulai menggosipkan dosen tersebut. Karena aku merasa membicarakan dosen dibelakang bukan hal yang baik. Aku meningalkan gerombolan pemuda pemudi masa kini yang sedang asik bercengkrama.
Di teras gedung perkuliahan, dia tersenyum kepadaku. Senyumnya tidak asing. Aku mencoba mngingat-ingat siapa lelaki itu. Satu menit, dua menit, hingga 5 menit aku belum ingat siapa dia. Lalu, terbesit di benakku untuk menghampirinya. Kuberanikan diriku. “Maaf, apakah kita pernah saling kenal? Karena aku merasa tidak asing dengan anda” aku bertanya dengan polosnya. Lelaki itu menjawab “Ta, kamu lupa? Benar-benar tidak ingat siapa aku?” dia mengetesku. Aku masih memandanginya. Siapa dia, tanyaku dalam hati. “ah sudahlah Ta, diammu terlalu lama.hahaha” ejeknya. “Aku Imran, teman SMPmu”. Mukaku memerah ternyata dia Imran teman sekelasku dulu. Lelaki yang pernah aku kagumi. Dan dia sekarang hadir disini, tepat di depanku, hanya ada jeda 3 langkah saja. Setelah pertemuan yang tak disengaja itu, aku dan dia saling bercakap-cakap, saling berbagi pengalaman.Waktu menunjukkan pukul 12.00, aku berpamitan dengannya karena ada urusan yang sudah menanti penyelesaian.

“Tata!” sapa Mirna dari kejauhan. “Oh hai Mir!” aku membalas sapanya. Lalu wanita manis itu menghampiriku. Kamipun segera berbicara banyak hal mengenai sesuatu hal. Hal yang dapat dikatakan sebagai masalah. Ya, masalahnya tidak begitu runyam sebenarnya. Hanya saja masalah ini membutuhkan banyak sudut pandang. Karena ini bukan masalah biasa. Mungkin teman-temanku selalu bertanya-tanya sebenarnya kami ada masalah apa. “Kenapa mereka tidak cerita ya?” batin mereka. Aku hanya mesem ketika mereka berfikir seperti itu.

Di rumah, aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang mungkin dianggap orang lain hal yang kurang penting. Sahabatku Mirna mendukung kegemaranku. Ya, aku suka menulis. Apapun yang ada di benakku, aku menuliskannya. Entah perasaan senang, sedih, kecewa, bahkan terluka sekalipun. Aku merasa bahwa tulisan adalah tempat curhat keduaku, karena kita tidak bisa memungkiri bahwa Allah adalah tempat curhatan pertama dan akan tetap jadi yang pertama. Masih kembali ke masalah tadi. Lalu bagaimana dengan Imran, perkuliahan tadi?. Sebenarnya, serangkaian kejadian hari ini tidak ada hubungannya dengan tulisan sederhana ini. Karena aku hanya ingin menulis dan menulis. Tetapi memang ada sesuatu hal yang kadang, oh bahkan sering membuat hatiku ragu. Aku terjebak oleh seuntai perasaan yang masih tercecer. Perasaan yang tidak aku pahami. Perasaannya, itu yang belum bisa aku miliki.